ArRisalah merupakan kitab hasil karangan Imam Syafi'i yang bisa dikatakan sebagai peletak pertama dasar-dasar teori hukum dalam Islam (ushul fiqh). Hingga sekarang kitab tersebut masih menjadi rujukan bagi siapapun yang berniat mengetahui serta memperdalam mengenai ushul fiqh. Selain kitab Ar-Risalah, kitab karangan Imam Syafi'i yang
PentingnyaBelajar Fiqih untuk Kehidupan Sehari-hari. Oleh widhi 25 Nov, 2017. Hendaknya fiqih telah dipelajari sejak usia kanak-kanak, utamanya di usia mereka menjelang baligh, sehingga ketika usia mereka telah baligh mereka dapat menjalankan kewajiban ibadah dengan sempurna sesuai kaidah dan hukum syariat yang berlaku.
BelajarAgama Otodidak. Posted on Maret 30, 2015 by Bahtsul Masail. Ada dua orang sedang salat berjamaah, yang seorang menjadi imam sedang yang lain menjadi makmum. Saat melaksanakan salat, imamnya batal, maka apakah yang harus dilakukan imam tersebut?
CaraBelajar Imam Syafi'i. la dilahirkan di Gaza, Palestina, pada tahun 150 H. la diberi nama Muhammad bin Idris bin 'Abbas bin 'Utsman bin Syafi'i Al-Quraisy bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf. Sejak ia masih di dalam kandungan, ayahnya yang bernama Idris telah meninggal dunia. Imam Syafi'i berkisah, "Setelah aku hafal Al-Qur'an, aku masuk ke
BukuFikih Syafi'i untuk Pemula (Belajar Mudah Fiqih Tingkat Dasar) di Tokopedia ∙ Promo Pengguna Baru ∙ Cicilan 0% ∙ Kurir Instan. Beli Buku Fikih Syafi'i untuk Pemula (Belajar Mudah Fiqih Tingkat Dasar) di Halinka Store.id. Promo khusus pengguna baru di aplikasi Tokopedia!
BukuFikih Syafi'i Untuk Pemula Belajar Mudah Tingkat Dasar by Toko Muslim · Published 03/13/2018 · Updated 03/02/2020 Kode: BK3084 Harga: Rp.45.000 Rp. 38.250 (Diskon) Penulis: Ahmad Mahmud Abu Hasubah Penerbit: Pustaka Arafah Ukuran: 15,5 cm x 23,5 cm Cover: Soft Cover Berat : 400 Gram Tebal: 324 halaman Resensi:
TFEJg.
In this article, we discuss the history of Islamic legal thought in Tabi'in. It was known at the time of Tabi'in that the development of Islamic law was marked by the emergence of political sects implicitly pushing for the formation of a legal stream. This is due to a number of factors including regional expansion and the different uses of Ra'yu. Indirectly the formation of this stream proves that in Islam there is freedom of thought and each one tolerates each other/mutual respect for that difference. This difference does not become a barrier in the togetherness and ukhwah of Islam. In general, the term tabi'in in the determination and application of the law follows the steps taken by friends in istinbath al-ahkam. This Istinbath is carried out by means of berijtihad in accordance with the provisions of Islamic sources, namely the Qur'an, Sunnah, Ijma 'and Qiyas. The formation of schools of thought is seen from the development of science, in this phase it is said to be a golden age in the history of the development of Islamic law. The main factor driving the development of Islamic law is due to the development of science in the Islamic world. So that the Islamic schools of Islamic jurisprudence appeared after the best friend and the al-Tabi'in Kibrar numbered thirteen schools. There were thirteen mujtahids whose schools were recorded and followed by their opinions, all of which were affiliated with the Ahl al-Sunnah sect. However, only four well-known schools of thought are the Hanafi Imam, Imam Malik, Imam Shafi'i and Imam Hanbali. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Tamaddun Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Vol. 8 Issue 1,July 2020 Avaliable online at Published by Departement of History and Islamic Culture, Faculty of Ushuluddin Adab and Dakwah IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Indonesia Copyright 2020 Author. Published TamaddunJurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam Tinjauan Historis Pemikiran Hukum Islam Pada Masa Tabi’in Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i Dan Imam Hanbali Dalam Istinbat Al-Ahkam Muhammad Rijal Fadli exfadhlie Pendidikan Sejarah Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Abstract In this article, we discuss the history of Islamic legal thought in Tabi'in. It was known at the time of Tabi'in that the development of Islamic law was marked by the emergence of political sects implicitly pushing for the formation of a legal stream. This is due to a number of factors including regional expansion and the different uses of Ra'yu. Indirectly the formation of this stream proves that in Islam there is freedom of thought and each one tolerates each other / mutual respect for that difference. This difference does not become a barrier in the togetherness and ukhwah of Islam. In general, the term tabi'in in the determination and application of the law follows the steps taken by friends in istinbath al-ahkam. This Istinbath is carried out by means of berijtihad in accordance with the provisions of Islamic sources, namely the Qur'an, Sunnah, Ijma 'and Qiyas. The formation of schools of thought is seen from the development of science, in this phase it is said to be a golden age in the history of the development of Islamic law. The main factor driving the development of Islamic law is due to the development of science in the Islamic world. So that the Islamic schools of Islamic jurisprudence appeared after the best friend and the al-Tabi'in Kibrar numbered thirteen schools. There were thirteen mujtahids whose schools were recorded and followed by their opinions, all of which were affiliated with the Ahl al-Sunnah sect. However, only four well-known schools of thought are the Hanafi Imam, Imam Malik, Imam Shafi'i and Imam Hanbali. Keywords Islamic law, Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Shafi'i, Imam Hanbali, Istinbath. 2 Tamaddun Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume 8, Issue 1, July 2020 1. Pendahuluan Islam merupakan agama yang telah dimaksudkan oleh Allah untuk mengatur hubungan antara manusia dengan tuhan dan antara manusia dengan manusia hablum minallah, hablum minan-nas. Dengan kedudukannya yang demikian dapat dipahami kalau ajaran Islam memuat aturan-aturan yang berkaitan dengan dua hubungan tersebut. Diketahui bahwa hukum yang dipakai dan berlaku dalam Islam adalah berdasarkan wahyu Allah yang telah dikodifikasikan di dalam Al-qur‟an. Dalam ayat-ayat Al-qur‟an banyak mengandung dasar-dasar hukum, baik mengenai ibadah dan hidup berkemasyarakatan kemudian disebut dengan ayat al-ahkam. Dalam kajian yang telah dilakukan oleh Abdul Wahab Khallaf ditemukannya 368 ayat di dalam Al-qur‟an 5,8% dari keseluruhan ayat Al-qur‟an yang berjumlah 6360 ayat tergolong pada ayat dinamika pemikiran hukum dalam Islam terdapat dua dimensi. Pertama, hukum Islam berdimensi ilahiyah, artinya bahwa ajaran yang diyakini bersumber dari Allah SWT dan senantiasa dijaga sakralitasnya. Jadi dalam hal ini hukum Islam dipahami sebagai syariat yang cakupannya luas, tidak terbatas pada fiqih saja, tapi mencakup juga dalam bidang keyakinan, amaliah dan akhlaq. Kedua, hukum Islam berdimensi insaniyah, maksudnya hukum Islam adalah upaya dari manusia secara bersungguh-sungguh untuk memahami ajaran yang dianggap suci dengan melakukan dua pendekatan; pendekatan kebahasaan dan pendekatan maqashid. Dalam dimensi ini hukum Islam dipahami sebagai produk pemikiran yang dilakukan dengan berbagai pendekatan, dikenal dengan sebutan ijtihad atau tingkat yang lebih teknis disebut istinbath dalam Islam bertujuan untuk mengatur kepentingan manusia untuk memperoleh kemaslahatan dalam hidupnya, maka pemikiran dalam hukum Islam senantiasa terus berkembang dan Ajat Sudrajat, Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat, Malang Intrans Publishing, 2015, 87 Abdul Wahab Khallaf, Mashadir Al-Tasyri’ Al-Islami Fima La Nashsha Fiih, Kuwait Dar Al-Qalam, 1956, 35 Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam Bandung PT Remaja Rosdakarya, 2000, vii 3 Tamaddun Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume 8, Issue 1, July 2020 berjalan seiring dengan gerak laju perkembangan umat Islam itu sendiri. Hukum dalam Islam pastinya bersumber kepada Al-qur‟an dan Hadist sehingga semuanya sudah dijelaskan dan ditentukan secara gamblang dalam sumber tersebut. Dinamika perkembangan pemikiran dalam hukum Islam pada masa Tabi‟in ini mengalami masa keemasan karena banyak pembaharuan-pembaharuan dalam istinbath al-ahkam/pengambilan hukum. Disini merupakan titik dari kemajuan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam khususnya di dalam hukum Islam. Pada masa Tabi‟in pengambilan hukum Islam mempunyai banyak variasi sebab di setiap masa-masanya selalu ada pembaharuan dalam istinbath al-ahkam variasi disini arahnya terdapat perbedaan dari setiap madzhab. Hal ini tidak terjadi masalah karena dengan adanya perbedaan ini bahwa ilmu pengetahuan tentang Islam sangat luas sehingga perbedaan-perbedaan ini tidak masalah dalam dunia Islam. Melihat sejarahnya kemajuan-kemajuan dalam dunia Islam terjadi adanya aliran-aliran politik secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya perluasan wilayah dan perbedaan penggunaan Ra’yu. Dalam mempelajari pemikiran ulama dan langkah ijtihadnya menjadi penting, karena sebagai upaya konstruktif dalam memahami produk pemikiran dan pola yang digunakan. Salah satu kaidah dikatakan bahwa memelihara produk pemikiran ulama dan langkah-langkah ijtihadnya serta mengembangkannya sehingga lebih maslahat almuhafazdatu alaa qodimissholih wal-akhdzu bil jadidil ashlah “memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik”. Dengan begitu dalam mempelajari perkembangan hukum Islam berarti telah melakukan langkah awal ijtihadnya untuk ditransmisikan, sehingga kemaslahatan manusia tetap demikian, bahwa pemikiran hukum Islam pada masa Tabi‟in mengalami kemajuan pesat, dari setiap imam madzhab mempunyai istinbat tersendiri. Dalam kajian ini hanya membahas pemikiran hukum Islam masa Tabi‟in serta dalam metode istinbatnya dari Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung PT Remaja Rosdakarya, 2000, 16 4 Tamaddun Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume 8, Issue 1, July 2020 masing-masing madzhab Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi‟i dan Imam Hanbali. 2. Hasil dan Pembahasan Pengertian Hukum Islam Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai peraturan-peraturan atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh Islam, oleh Mahmud Syaltout didefinisikan sebagai agama Allah yang diamanatkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengajarkan dasar-dasar dan syariatnya dan juga mendakwahkannya kepada semua manusia serta mengajak mereka untuk kata „hukum‟ dan „Islam‟ tersebut muncul istilah hukum Islam. Dengan memahami arti dari kedua kata yang ada dalam istilah hukum Islam ini, dapatlah dipahami bahwa hukum Islam merupakan seperangkat norma atau peraturan yang bersumber dari Allah SWT dan Nabi Muhammad saw. untuk mengatur tingkah laku manusia di tengahtengah masyarakatnya. Dengan kalimat yang lebih singkat, hukum Islam dapat diartikan sebagai hukum yang bersumber dari ajaran Islam. Hukum Islam merupakan hukum yang bersumber dari Al-qur‟an dan menjadi bagian dalam agama Islam. Dalam berbicara tentang hukum Islam sebagian sistem hukum mempunyai beberapa istilah-istilah yang perlu dijelaskan terlebih dulu,supaya tidak terjadi kebingungan dalam memahami maknanya. Dalam kajian ini diawali penjelasan tentang istilah-istilah dalam hukum Islam seperti Syari’ah, Tasyri’ dan Fiqih. Dengan pemahaman tersebut diharapkan mampu untuk memahami mengenai topik-topik yang dibahas dalam Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2002, 38 Mahmud Syaltout, Al-Islam Aqidah Wa Syariah, Kairo Dar Al-Qalam, 1966, 9 5 Tamaddun Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume 8, Issue 1, July 2020 kaitannya dengan sejarah dan perkembangan hukum Islam itu sendiri. 1. Syari‟ah Secara etimologis harfiah syari’ah berarti al-utbah liku-liku lembah, al-atabah ambang pintu dan tangga, maurid al-syaribah jalan tenpat peminum mencari air, dan al-thariqah al-mustaqimah jalan yang lurus.Syari‟ah dalam arti terminologi Apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk hamba-Nya, baik dalam bidang keyakinan i’tiqodiyyah, perbuatan maupun begitu dimaksud dengan syari‟ah ialah peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw untuk manusia yang mencakup tiga bidang; keyakinan, perbuatan, dan akhlak. Karena cakupannya yang luas, sehingga dalam pengertian ini syari‟ah sama dengan agama Islam. Secara umum syari‟ah diartikan sebagai seperangkat norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial. Hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya, atau dengan kata lain Syariah berisi peraturan-peraturan yang mengatur aktifitas yang seharusnya dikerjakan mulanya pengertian syari’ah sama dengan agama, dalam perkembangannya istilah syari’ah secara khusus menunjuk kearah hukum amaliyah. Pengkhususan ini karena agama pada dasarnya ialah satu dan berlaku secara universal. Sedangkan syari‟ah berlaku untuk masing-masing umat dan berbeda-beda dengan umat sebelumnya. Dengan demikian syari’ah lebih khusus dari agama syariah merupakan hukum amaliyah yang berbeda menurut perbedaan rasul yang membawanya. Ajat Sudrajat, Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat, Malang Intrans Publishing, 2015, 88 Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung PT Remaja Rosdakarya, 2000, 16 Latupono, Barzah, dkk, Buku Ajar Hukum Islam, Yogyakarta Deepuhlish, 2017, 10 6 Tamaddun Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume 8, Issue 1, July 2020 Syariah ini kemudian didasari sebagai norma hukum yang disyari‟atkan oleh Allah dan diperinci oleh Nabi Muhammad, sehingga selain tertera di dalam Al-qur‟an, syari‟at juga terdapat dalam As-Sunnah Hadist. Dalam hadist Nabi dijelaskan bahwa “umat Islam tidak akan pernah tersesat dalam perjalanan hidupnya di dunia ini selama mereka berpegang teguh atau berpedoman kepada Al-qur‟an dan sunah Rasulullah”. Posisi syariat disini sebagai pedoman dan tolok ukur, bagaimana manusia dapat hidup di jalan yang benar atau tidak. Selama didalam hidup tetap berpatokan kepada ketentuan Al-qur‟an dan hadist nabí maka hidupnya akan menjadi Tasyri‟ Kata tasyri’ memiliki akar kata yang sama dengan syari’ah, kalau syari’ah berarti hukum atau aturan-aturan yang ditetapkan Allah yang menyangkut tindak-tunduk umat manusia. Sedangkan tasyri’ bersangkutan dalam hal penetapan hukum dan aturan-aturan tersebut. Secara terminologi tasyri’ adalah Penetapan peraturan, penjelasan hukum-hukum, dan penyusun bisa dikatakan merupakan istilah teknis tentang proses pembentukan fiqih atau peraturan perundang-undangan. Didalamnya tercakup produk dan proses pembentukan fiqih atau perundang-undangan. Jadi dalam hal ini istilah tasyri’ lebih tampak ke arah pembentukan hukum. Dalam prosesnya penetapan hukum bersumber kepada Al-qur‟an dan Hadist, maka ilmu asbab al-nuzul dan asbab al wurud bagian yang tidak bisa dipisahkan dan diabaikan. Karena dalam kaitannya sangat penting untuk memperhatikan langkah-langkah berijtihad yang tela dilakukan oleh para ulama. 3. Fiqih Rohidin, Buku Ajar Pengantar Hukum Islam, Yogyakarta Lintang Rasi Aksara Books, 2016, 12 Ajat Sudrajat, Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat, Malang Intrans Publishing, 2015, 88 Muhammad Kamil Musa, Al-Madkhal Ila Al-Tasyri’ Al-Islami, Beirut Muassasah Al-Risalah, 1989, 17 7 Tamaddun Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume 8, Issue 1, July 2020 Fiqih berasal dari bahasa arab dari masdarnya faqiha-yafqahu , secara bahasa kata ini memiliki arti al-ilmu pengetahuan dan al-fahmu pemahaman. Sedangkan menurut Ajat Sudrajat fiqih secara etimologis berarti “paham yang mendalam”.Fiqih secara terminologi syara‟ adalah Fiqih adalah ilmu tentang hukum syara‟ bersifat amali praktis yang dihasilkan dari dalil-dalil yang demikian fiqih merupakan ilmu pengetahuan tentang hukum syara‟ yang berhubungan dengan amal perbuatan, yang digali satu persatu dalilnya. Maksud pengetahuan disini ialah pengetahuan yang hanya sampai pada tingkatan dzan asumsi/dugaan, hal ini disebabkan dalam definisi diatas terdapat kata al-muktasab yang artinya “diusahakan” dan mengandung pengertian adanya campur tangan akal pikiran manusia dalam penarikan hukum-hukum dari merupakan ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan dengan segala pekerjaan mukallaf, baik yang wajib, yang haram, dan yang mubah, harus diambil diistinbatkan dari al-qur‟an dan Hadist dan dari dalil-dalil yang telah tegas ditegakkan oleh syara‟, seperti qiyas umpamanya. Apabila dikeluarkan hukum-hukum dengan jalan ijtihad dan dalil-dalilnya, maka yang dikeluarkan itu, dinamai hal ini bahwa kaitannya syari‟ah dan fiqih sangat dekat. Untuk mengetahui dan menjelaskan keseluruhan apa yang dikehendaki oleh Allah harus ada pemahaman yang mendalam terhadap syari‟ah, sehingga secara amaliyah syari‟ah dapat dilaksanakan dalam kondisi dan situasi apapun. Hasil pemahaman Rohidin, Buku Ajar Pengantar Hukum Islam, Yogyakarta Lintang Rasi Aksara Books, 2016, 8 Ajat Sudrajat, Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat, Malang Intrans Publishing, 2015, 88 Fauzi, Sejarah Hukum Islam, Jakarta Prenadamedia Group, 2018, 7 Izomiddin, Pemikiran dan Filsafat Hukum Islam, Jakarta Prenadamedia Group, 2018, 7 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, Jakarta Kencana, 2017, 27 8 Tamaddun Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume 8, Issue 1, July 2020 kemudian dituangkan kedalam bentuk ketentuan yang terperinci. Ketentuan terperinci yang menjadi sandaran manusia mukallaf itu adalah merupakan formulasi yang dilakukan para ulama, itulah dikenal dengan fiqih. Secara ringkas fiqih adalah hasil formulasi dari pemahaman para ulama mujtahid terhadap syari‟ah. Karena itulah kemudian dikenal adalah fiqih maliki, fiqih hanafi, fiqih syafi‟i, fiqih hambali. Adapun keistimewaan fiqih yaitu asasnya merupakan wahyu Ilahi dan mencakup semua kebutuhan kehidupan, sifatnya agamis, diikat dengan akhlak, balasannya tidak sama antara duniawi dan ukhrawi, memperhatikan kemaslahatan pribadi dan masyarakat. Fiqih penerapannya yang bersifat abadi dan tujuan akhirnya kebahagiaan dunia dan Islam Masa Tabi’in dan Metode Istinbathnya Setelah masa khulafaurrasyidin berakhir, masa selanjutnya adalah zaman tabi‟in. Pada masa ini perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Diantara faktor-faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam sebagai berikut 1 Perluasan wilayah, dimana ekspansi dunia Islam sudah dilakukan sejak zaman khalifah, hal ini dilihat dari meluasnya wilayah di jazirah Arab bahkan sampai meluas ke Afrika, Asia, dan Asia kecil. Banyaknya daerah baru yang dikuasi berarti banyak pula persoalan yang diahdapi oleh umat Islam. Persoalan tersebut perlu diselesaikan berdasarkan Islam karena agama khanif ini merupakan petunjuk bagi manusia. Dengan demikian, perluasan wilayah dapat mendorong perkembangan hukum Islam, karena semakin luas wilayah yang dikuasai berarti semakin banyak juga penduduk di negeri muslim dan semakin banyak penduduk, semakin banyak pula persoalan hukum yang harus diselesaikan. 2 perbedaan penggunaan ra’yu, pada fase tabi‟in corak pemikiran fuqaha ahli hukum Islam dibedakan menjadi dua; yaitu madzhab atau aliran hadits madrasah al-hadits dan aliran al-ra’yu madrasah al-ra’yu. Aliran hadits ini merupakan golongan Fauzi, Sejarah Hukum Islam, Jakarta Prenadamedia Group, 2018, 8 9 Tamaddun Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume 8, Issue 1, July 2020 yang lebih banyak menggunakan riwayat dan sangat hati-hati dalam penggunaan ra’yu penalaran/pemikiran, sedangkan aliran ra’yu lebih banyak menggunakan ra’yu dibanding dengan aliran hadits. Munculnya dua aliran pemikiran hukum Islam itu semakin mendorong perkembangan ikhtilaf dan pada saat yang sama semakin mendorong perkembangan hukum masing-masing aliran memiliki pendapat tersendiri dan memiliki murid serta pengikut tersendiri. Secara tidak langsung terbentuknya aliran ini membuktikan bahwa dalam Islam terdapat kebebasan berpikir dan masing-masing saling bertoleransi/saling menghargai perbedaan itu. Perbedaan itu tidak menjadi penghalang dalam kebersamaan dan ukhwah islamiyah. Secara umum masa tabi‟in dalam penetapan dan penerapan hukum mengikuti langkah-langkah yang telah dilakukan oleh sahabat dalam istinbath al-ahkam. Langkah-langkah mereka yang dilakukan sebagai berikut 1 mencari ketentuannya didalam Al-qur‟an, 2 apabila ketentuannya tidak didalam Al-qur‟an jadi dicari didalam Sunnah, 3 apabila tidak didapatkan dalam Al-qur‟an dan Sunnah, mereka kembali pada pendapat sahabat, 4 apabila pendapat sahabat tidak diperoleh maka berijtihad. Dengan demikian, dasar-dasar hukum Islam pada periode ini adalah; Al-qur‟an, Sunnah, Ijma‟, dan pendapat sahabat Ijtihad. Dalam pembentukan madzhab dilihat dari semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, pada fase ini dikatakan sebagai zaman keemasan dalam sejarah perkembangan hukum Islam. Faktor utama yang mendorong perkembangan hukum Islam adalah karena berkembangannya ilmu pengetahuan di dunia Islam. Berkembang pesat ilmu pengetahuan di dunia Islam disebabkan oleh beberapa hal yaitu; pertama banyaknya mawali yang masuk Islam. Dimana Islam telah menguasai pusat-pusat peradaban Yunani Antioch dan Bactra. Kedua berkembangnya pemikiran karena luasnya ilmu pengetahuan. Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung PT Remaja Rosdakarya, 2000, 16 Umar Sulaiman Al-asyqar, Tarikh Al-Fiqh Al-Islami. Amman Dar Al-Nafa’is, 1991, 81 10 Tamaddun Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume 8, Issue 1, July 2020 Ketiga adanya upaya umat Islam untuk melestarikan Al-qur‟an dengan dua cara yaitu dicatat mushaf dan Thaha Jabir Fayadl Al‟ulwani dikutip dalam Mubarok menerangkan bahwa madzhab fiqih Islam yang muncul setelah masa sahabat dan kibrar al-tabi‟in berjumlah tiga belas aliran. Pada masa ini, muncul tiga belas mujtahid yang madzhabnya dibukukan dan diikuti pendapatnya. Ketiga belas aliran ini berafiliasi dengan aliran Ahl al-sunnah. Namun, tidak semua aliran itu dapat diketahui dasar-dasar dan metode istinbath hukumnya. Adapun diantara pendiri ketiga belas aliran itu adalah1. Abu Sa‟id al-Hasan ibn Yasar al-Bashri H 2. Abu Hanifah al-Nu‟man ibn Tsabit ibn Zuthi w. 150 H 3. Al-Auza‟i Abu Amr Abd al-Rahman ibn Amr ibn Muhammad w. 157 H 4. Sufyan ibn Sa‟id ibn Masruq al-Tsauri w. 160 H 5. Al-Laits ibn Sa‟d w. 175 H 6. Malik ibn Annas al-Bahi w. 179 H 7. Sufyan ibn Uyainah H 8. Muhammad ibn Idris al-Syafi‟i w. 204 H 9. Ishaq ibn Rahawaih w. 238 H 10. Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid al-Kalabi w. 240 H 11. Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal w. 241 H 12. Daud ibn Ali al-Ashbahani al-Baghdadi w. 270 H 13. Ibn Jarir At Thabary w. 310 H Dari sejumlah nama di atas yang merupakan para fuquha terkenal dan memiliki murid dan pengikut sampai sekarang, hanya beberapa diantaranya; Abu Hanifah, Malik ibn Annas, Muhammad ibn Idris al-Syafi‟i, dan Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal. Keempat fuquha ini dengan pengikutnya kemudia terkenal dalam madzhab Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung PT Remaja Rosdakarya, 2000, 67-68 Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung PT Remaja Rosdakarya, 2000, 70 Abdillah, Nanang. Madzhab Dan Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan. Jurnal Fikroh Vol. 8 No. 1 Juli 2014 22-23 11 Tamaddun Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume 8, Issue 1, July 2020 pemikiran fiqih dengan sebutan; Hanafiyah, Malikiyah, Syafi‟iyah, dan Hanbaliyah. 1. Madzhab Hanafi Aliran ini berasal dari nama tokoh sentral dalam pemikiran fiqih, yaitu Abu Hanifah al-Nu‟man ibn Tsabit ibn Zuhti 80-150 H. Abu Hanifah mengalami kekuasaan dua dinasti Islam, yaitu masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Beliau hidup selama 52 tahun pada dinasti Umayyah, dan 18 tahun pada dinasti Abbasiyah. Pada awalnya beliau adalah seorang pedagang, tetapi atas anjuran seorang ulama al-Sya’bi, kemudian beralih menjadi pengembang ilmu. Abu Hanifah tergolong sebagai generasi ketiga setelah Nabi Muhammad saw at-ba’ al-tabi’in. Ia belajar fiqih kepada ulama aliran Irak ahl al-ra’yu. Dan karena itu pula dalam perkembangan pemikiran fiqihnya ia merepresentasikan aliran al-ra’yu. Abu Hanifah tidak memulai pembelajaran dari fiqih, tetapi memulai dengan ilmu kalam sehingga hal ini yang menyokong dalam pembentukkan metode berfikirnya yang rasional dan realistis. Pada perkembangannya, ia dikenal dengan sebutan ahl ra’yu dalam fikih dengan metodenya yang terkenal, yaitu Thaha Jabir Fayadi al-„Ulwani memaparkan pembagian cara ijtihad Abu Hanifah menjadi dua cara, yaitu cara ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang merupakan tambahan, cara ijtihad istinbath yang pokok yang dilakukan Ahu hanifah sebagai berikut 1 Sumber utamanya adalah merujuk kepada al-Qur‟an, 2 Apabila tidak ditemukan di dalam Al-qur‟an, Ia merujuk kepada Sunnah Nabi dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang orang yang tsiqah, 3 Apabila tidak mendapatkan pada keduanya, Ia mencari qaul para sahabat. Sedangkan cara ijtihad yang tambahan menurut Ajat Sudrajat adalah 1 Bahwa dilalah lafad umum am Juliansyahzen, M. Iqbal. Pemikiran Hukum Islam Abu Hanifah Sebuah Kajian Sosio-Historis Seputar Hukum Keluarga. Jurnal Al-Mazahib Volume 3, Nomor 1, Juni 2015 76 Thaha Jabir Fayadi Al-Ulwani, Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam. Washington The International Institute of Islamic Thought, 1987, 91 Ajat Sudrajat, Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat, Malang Intrans Publishing, 2015, 99 12 Tamaddun Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume 8, Issue 1, July 2020 adalah qath’i, seperti lafad khash, 2 Bahwa pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum adalah bersifat khusus, 3 Bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat rajih, 4 Adanya penolakan terhadap mafhum makna tersirat syarat dan shifat, 5 Bahwa apabila perbuatan rawi menyalahi riwayatnya, yang dijadikan dalil adalah perbuatannya bukan riwayatnya, 6 Mendahulukan qiyas jali atas khabar ahad yang dipertentangkan, 7 Menggunakan istihsan dan meninggalkan qiyas apabila diperlukan. 2. Madzhab Maliki Imam Malik adalah imam yang kedua dari Imam-imam empat serangkai dalam Islam. Dari segi umur Ia dilahirkan di kota Madinah, suatu daerah di negeri Hijaz tahun 93 H/713 M, dan wafat pada hari ahad 10 Rabi‟ul Awal 179 H/ 798 M di Madinah. Imam Malik wafat pada masa pemerintahan Abbasiyah di bawah kekuasaaan Harun Ar-Rasyid. Nama lengkap Imam Malik adalah Abu Abdillah Malik bin Anas As Syabahi Al Arabi bin Malik bin Abu „Amir bin Harits. Imam Malik dikenal sebagai seorang yang berbudi mulia dengan pikiran cerdas, pemberani, dan teguh mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Kedalaman ilmu menjadikan beliau amat tegas dalam menentukan hukum syar‟ usia remaja, Malik ibn Annas, belajar dan menghafal Al-qur‟an. Kemudian ibunya mendorong Malik untuk belajar fiqih aliran rasional kepada imam Rabi’ah al-Ra’yu, yang juga berasal dari Madinah. Malik juga belajar kepada faqih yang lain, yaitu Yahya ibn Sa‟id di samping belajar fiqih, Malik ibn Anas juga mempelajari hadits-hadits Nabi, antara lain kepada Abdurrahman ibn Hurmuz, Nafi Maula ibn Umar, lbn Syihab al-Zuhri, dan Sa‟id ibn Musayyab. Hadits-hadits yang Ia terima dari gurunya dituangkan dalam suatu kitab yang disusunnya, dan diberi nama al-Muwattha sehingga imam Malik dikenal dengan ahl Aris Setiyanto, Pemikiran Hukum Islam Imam Malik Bin Anas Pendekatan Sejarah Sosial. Al-ahkam Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol. 1, Nomor 2, 2016 106-108 Ajat Sudrajat, Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat, Malang Intrans Publishing, 2015, 100 13 Tamaddun Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume 8, Issue 1, July 2020 Cara ijtihad istinbath Imam Malik melalui langkah-langkah ijtihad sebagai berikut 1 mengambil dari Al-qur‟an, 2 menggunakan zhahir Al-qur‟an yaitu lafad-lafad yang umum Sunnah Nabi, 3 menggunakan dalil Al-qur‟an yaitu mafhum al-muwafaqoh, 4 menggunakan mafhum Al-qur‟an yaitu mafhum mukhalafah, 5 menggunakan tanbih Al-qur‟an yaitu memperthatikan illat. Kemudian dalam madzhab imam Malik lima langkah itu disebut sebagai Ushul Khamsah. Langkah-langkahnya dalam Askar Saputra adalah; 1 ijma‟, 2 qiyas, 3 amal penduduk Madinah, 4 istihsan, 5 saad al-dzara’i, 6 al-maslahah al-mursalah, 7 qoul shohabi, 8 mura’at al-khilaf, 9 al-istishhab, 10 syar`u man qoblanaa. Sebenarnya para penerus imam Malik dalam menggunakan dalil hukum bersumber kepada Al-qur‟an, Sunnah, Ijma‟, dan Madzhab Sayafi‟i Nama lengkap imam Syafi‟i adalah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Syafi'i bin al-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Mutholib bin Abdi Manaf. Dari pihak Ibu al-Syafi'i adalah cucu saudara perempuan ibu sahabat Ali bin Abi Thalib. Jadi ibu dan bapak al-Syafi'i adalah dari suku Quraisy. Bapak beliau berkelana dari Makkah untuk mendapatkan kelapangan penghidupan di Madinah, lalu bersama dengan ibu al-Syafi'i meninggaikan Madinah menuju ke Gaza untuk akhirnya beliau wafat di sana setelah dua tahun kelahiran al-Syafi'i. Dalam catatan yang lain al-Syafi'i lahir dalam keadaan yatim, pada bulan Rajab Tahun 150 H. 767 M di Gaza, umur 9 tahun Imam Syafi‟i telah hafal Al-qur‟an. Setelah itu beliau melanjutkan belajar bahasa Arab, hadits dan fiqih. Diantara gurunya ialah imam Malik dan beliau hafal kitab al-Muwatha. Setelah imam Malik wafat, imam Syafi‟i mulai melakukan kajian-kajian hukum dan mengeluarkan fatwa-fatwa fiqih, bahkan telah menyusun metodologi kajian fiqih. Dalam kajian fiqihnya, al-Syafi‟i Askar Saputra, Metode Ijtihad Imam Hanafi Dan Imam Malik. Jurnal Syariah Hukum Islam Vol 1, No 1, 2018 30-311 Thaha Jabir Fayadi Al-Ulwani, Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam, Washington The International Institute of Islamic Thought, 1987, 93-94 Rohidin. Historisitas Pemikiran Hukum Imam Asy-Syafi'i. Jurnal Hukum No. 27 Vol 11 September, 2004 98 14 Tamaddun Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume 8, Issue 1, July 2020 mengemukakan pendapat bahwa hukum Islam harus bersumber kepada Al-qur‟an dan Sunnah serta Ijma‟. Apabila ketiga sumber ini belum memaparkan ketentuan hukum yang jelas dan pasti, al-Syafi‟i telah mempelajari qaul sahabat, dan baru kemudian ijtihad dengan qiyas dan Syafi‟i pada usia 20 tahun pergi ke Madinah dan belajar kepada imam Malik. Lalu tahun 195 H beliau pergi ke Baghdad dan belajar kepada Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibaniy murid Abu Hanifah selama 2 tahun. Setelah itu beliau kembali ke Makkah dan kembali ke Baghdad dan menetap disana selama beberapa bulan. Selanjutnya melakukan perjalanannya lagi ke Mesir dan menetap disana sampai wafat pada 29 Rajab tahun 204 H. Maka dari itu didalam diri imam Syafi‟i terhimpun pengetahuan-pengetahuan fiqih ashab al-hadits imam Malik dan fiqih ashab al-ra’yu Abu Hanifah.Cara ijtihad istinbath imam al-Syafi‟i seperti imam-imam madzhab yang lainnya, namun al-Syafi‟i disini menentukan thuruq al-istinbath al-ahkam tersendiri. Adapun langkah-langkah ijtihadnya adalah; Ashal yaitu Al-qur‟an dan Sunnah. Apabila tidak ada didalamnya maka beliau melakukan qiyas terhadap keduanya. Apabila hadits telah muttashil dan sanadnya sahih, berarti ia termasuk berkualitas. Makna hadits yang diutamakan adalah makna zhahir, ia menolak hadits munqathi’ kecuali yang diriwayatkan oleh Ibn al-Musayyab pokok al-ashl tidak boleh dianalogikan kepada pokok, bagi pokok tidak perlu dipertanyakan mengapa dan bagaimana lima wa kaifa, hanya dipertanyakan kepada cabang furu’.Imam Syafi‟i mengatakan dalam Muhammad Kamil Musabahwa; ilmu itu bertingkat-tingkat. Tingkat pertama adalah Al-qur‟an dan Sunnah, kedua ialah ijma‟ terhadap sesuatu yang tidak terdapat Ajat Sudrajat, Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat, Malang Intrans Publishing, 2015, 101 Abdul Karim, Manhaj Imam Ahmad Ibn Hanbal Dalam Kitab Musnadnya. Jurnal Riwayah Vol. 1, No. 2, September 2015 188-189 Thaha Jabir Fayadi Al-Ulwani, Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam, Washington The International Institute of Islamic Thought, 1987, 95 Muhammad Kamil Musa, Al-Madkhal Ila Al-Tasyri’ Al-Islami. Beirut Muassasah Al-Risalah, 1989, 254 15 Tamaddun Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume 8, Issue 1, July 2020 dalam Al-qur‟an dan Sunnah. Ketiga adalah qaul sebagian sahabat tanpa ada yang menyalahinya, keempat adalah pendapat sahabat Nabi Saw yang antara satu dengan yang lainnya berbeda-beda ikhtilaf dan kelima adalah qiyas. Dengan demikian, dalil hukum yang digunakan oleh imam Syafi‟i adalah Al-qur‟an, Sunnah dan Ijma‟. Sedangkan teknik ijtihad yang digunakan adalah qiyas dan takhyir apabila menghadapi ikhtilaf pendahulunya. Ikhtilaf antara madzhab ahl al-ra’yu dan madzhab ahl al-ḥadits sebenarnya telah berakhir pada masa imam Syafi‟i karena beliau telah menggabungkan dua metodologi dalam mengistinbatkan hukum Islam. Sebagaimana telah diketahui bahwa Imam Syafi‟i memiliki dua qaul, yaitu qaul qadim dan qaul jadid. Pemetaan istilah tersebut dengan melihat dimana tempat beliau memutuskan hukum. Pendapat imam Syafi‟i yang difatwakan dan ditulis di Irak 195-199 H dikenal dengan qaul qadim. Sedangkan hasil ijtihad Imam Syafi‟i yang digali dan difatwakan selama ia bermukim di Mesir 199-204 H, dikenal dengan qaul pendapat imam Syafi‟i sewaktu menetap di Irak banyak dituliskan dalam al-Risalah al-Qadimah dan al-Hujjah, yang populer dengan sebutan al-Kitab al-Qadim. Sedangkan qaul jadid yang dirumuskan imam Syafi‟i setelah beliau berdomisili di Mesir diabadikan dalam beberapa kitab, yaitu al-Risalah al-Jadidah, al-Umm, al-Amali, al-Imla' dan lain-lain. Itulah pendapat imam Syafi‟i tentang qaul qadim dan qaul jadid yang sering dijadikan alasan oleh pembaharu untuk memodifikasi fiqih Islam. Selain itu juga ada pendapat-pendapat imam Syafi‟i yang di cantumkan dalam kitab yang sering dikenal dengan kitab al-Umm, didalam kitab ini menjelaskan pendapat-pendapat imam Syafi‟i tentang hukum-hukum Islam. 4. Madzhab Hanbali Imam Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal Al-Syaibani dilahirkan di Baghdad Iraq tepatnya dikota Maru/Merv, kota Ainol Yaqin, Evolusi Ijtihad Imam Syafi’i Dari Qawl Qadim Ke Qawl Jadid. Jurnal Al-Ahkam Volume 26, Nomor 2, Oktober 2016 146-147 16 Tamaddun Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume 8, Issue 1, July 2020 kelahiran sang ibu, pada bulan Robi`ul Awwal tahun 164 H atau Nopember 780 M. Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal Ibn Hilal Ibn As`ad Ibn Idris Ibn Abdillah Ibn Hayyan Ibn Abdillah Ibn Anas Ibn `Auf Ibn Qosit Ibn Mazin Ibn Syaiban Ibn Zulal Ibn Ismail Ibn Ibrahim. Dengan kata lain, Ia adalah keturunan Arab dari suku bani Syaiban, sehingga diberi laqab Hanbal dibesarkan di Baghdad dan mendapatkan pendidikan awalnya dikota tersebut hingga usia 19 tahun riwayat lain menyebutkan bahwa Ahmad pergi keluar dari Bagdad pada usia 16 tahun. Pada umur yang masih relative muda ia sudah dapat menghapal Al-Qur`an. Sejak usia 16 tahun Ahmad juga belajar hadits untuk pertama kalinya kepada Abu Yusuf, seorang ahli al-ra`yu dan salah satu sahabat Abu Hanifah. Kemudian gurunya dalam pemikiran fiqih ia belajar kepada imam Syafi‟i, dan imam Hanbal banyak mempergunakan Sunnah sebagai rujukan. Beliau tergolong orang yang mengembangkan fiqih tradisional. Dalam hidupnya imam Hanbal banyak melakukan analisis-analisis terhadap hadits-hadits Nabi dan kemudian disusun berdasarkan sistematika isnad, sehingga karyanya imam Hanbal dikenal dengan sebutan kitab Musnad. Imam Hanbal juga dikenal sebagai ulama ahli fiqih dan ahli hadits yang masyhur dikalangan masyarakatnya. Pandangannya berpengaruh dikalangan masyarakat. Ijtihad istinbath imam Ahmad ibn Hanbal dijelaskan oleh Thaha Jabir Fayadl al-„Ulwani bahwa cara ijtihad imam Hanbal sangat dekat dengan ijtihad yang dipakai oleh imam Syafi‟i. Selanjutnya pendapat-pendapat imam Ahmad ibn Hanbal dibangun atas lima dasar diantaranya 1. Al-nushush dari Al-qur‟an dan Sunnah, apabila telah ada ketentuan dalam Al-qur‟an dan Sunnah. Beliau berpendapat sesuai dengan makna yang tersurat, makna yang tersirat ia abaikan. Abdul Karim, Manhaj Imam Ahmad Ibn Hanbal Dalam Kitab Musnadnya. Jurnal Riwayah Vol. 1, No. 2, September 2015 353 Thaha Jabir Fayadi Al-Ulwani, Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam, Washington The International Institute of Islamic Thought, 1987, 96 17 Tamaddun Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume 8, Issue 1, July 2020 2. Jikalau tidak didapatkan dalam Al-qur‟an dan Sunnah maka menukil fatwa sahabat, dan memilih pendapat sagabat yang disepakati sahabat lainnya. 3. Apabila fatwa sahabat berbeda-beda maka memilih salah satu pendapat yang lebih dekat kepada Al-qur‟an dan Sunnah. 4. Imam Ahmad ibn Hanbal menggunakan hadits mursal dan dhaif apabila tidak ada atsar, qaul sahabat atau ijma‟ yang menyalahinya. 5. Apabila hadits mursal dan dhaif sebagaimana diisyarattkan di atas tidak didapatkan maka menganalogikan qiyas. Dalam pandangannya qiyas adalah dalil yang dipakai dalam keadaan dharurat terpaksa. 6. Langkah terakhir adalah menggunakan sadd al-dzara’i yaitu melakukan tindakan yang prepentif terhadap hal-hal yang fiqih Ahmad bin Hanbal merujuk pada fatwa sahabat tanpa membedakan apakah fatwa itu mempunyai dasar dari sunnah atau atsar atau sekedar diperoleh dari ijtihad mereka. Sekalipun tidak dapat dikatakan bahwa Ahmad bin Hanbal telah menghidupkan fatwa-fatwa sahabat tanpa verifikasi ilmiah yang memadai tetapi ia menganggap fatwa-fatwa itu sebagai rujukan kedua setelah hadis dalam memahami agama dan hukum syara‟ adalah satu kenyataan yang sulit dibantah. Dengan demikian, maka dapat diasumsikan bahwa keteguhan Ahmad bin Hanbal dalam mengedapankan fatwa-fatwa sahabat sebagai rujukan dalam istinbat hukumnya cukup menjadi indikator bahwa dari jalur inilah pemikiran fiqih sahabat membentuk pemikiran fiqh Ahmad bin Hanbal. Imam Hanbal tidak pernah menggunakan qiyas, penggunaan qiyas pernah dilakukan oleh gurunya tidak banyak berpengaruh pada Ahmad bin Hanbal bahkan sikap dan pemikirian fiqh Ahmad bin Hanbal cenderung fundamentalistik dalam memegang hadis. Sebagaimana dilakukan sebagian besar sahabat telah menjadi potensi dasar bagi Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung PT Remaja Rosdakarya, 2000, 38 M. Mawardi Djalaluddin, Unsur Kemoderenan Dalam Mazhab Ibnu Hanbal. Jurnal Al-Daulah Vol. 6, No. 1, Juni 2017 21-22 18 Tamaddun Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume 8, Issue 1, July 2020 upayanya untuk melakukan perombakan pemahaman agama yang dianggap telah mengalami distorsi oleh kepentingan politik dan aliran pada zamannya menuju pemahaman komprehensif para sahabat. 3. Penutup Hukum Islam merupakan seperangkat norma atau peraturan yang bersumber dari Allah SWT dan Nabi Muhammad saw. untuk mengatur tingkah laku manusia di tengahtengah masyarakatnya. Dengan kalimat yang lebih singkat, hukum Islam dapat diartikan sebagai hukum yang bersumber dari ajaran Islam. Dalam berbicara tentang hukum Islam sebagian sistem hukum mempunyai beberapa istilah-istilah yang perlu dijelaskan terlebih dulu,supaya tidak terjadi kebingungan dalam memahami maknanya. Dalam kajian ini diawali penjelasan tentang istilah-istilah dalam hukum Islam seperti Syari‟ah, Tasyri‟ dan Fiqih. Hukum Islam masa Tabi‟in yang dikenal empat madzhab yaitu Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi‟i dan Imam Hanbali. Pada fase tabi‟in hukum Islam mengalami kemajuan pesat, perkembangan hukum Islam ini ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya perluasan wilayah dan perbedaan penggunaan Ra‟yu. Faktor utama yang mendorong perkembangan hukum Islam adalah karena berkembangannya ilmu pengetahuan di dalam dunia Islam. Berkembang pesat ilmu pengetahuan di dunia Islam disebabkan oleh beberapa hal yaitu; pertama banyaknya mawali yang masuk Islam. Dimana Islam telah menguasai pusat-pusat peradaban Yunani Antioch dan Bactra. Kedua berkembangnya pemikiran karena luasnya ilmu pengetahuan. Ketiga adanya upaya umat Islam untuk melestarikan Al-qur‟an dengan dua cara yaitu dicatat mushaf dan dihafal. Dari setiap madzhab pasti terdapat perbedaan-perbedaan dalam beristinbath atau pengambilan hukum Islam karena dari masing-masing mempunyai cara-cara ijtidah tersendiri seperti ijma‟, qiyas, amal penduduk Madinah, istihsan, saad al-dzara’i, al-maslahah al-mursalah, qoul shohabi, mura’at al-khilaf, al-istishhab, syar`u man qoblanaa, dari cara ini semua pastinya sesuai 19 Tamaddun Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume 8, Issue 1, July 2020 dengan ketentuan sumber hukum Islam yaitu Al-qur‟an dan Sunnah Hadist. DAFTAR PUSTAKA Abdillah, Nanang. 2014. Madzhab Dan Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan. Jurnal Fikroh Vol. 8 No. 1 Juli. Ajat Sudrajat. 2015. Sejarah Pemikiran Dunia Islam dan Barat. Malang Intrans Publishing. Al-„Asyqar, „Umar Sulaiman. 1991. Tarikh Al-Fiqh Al-Islami. Amman Dar Al-Nafa‟is. Al-„Ulwani, Thaha Jabir Fayadi. 1987. Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam. Washington The International Institute of Islamic Thought. Ali, Mohammad Daud. 2002. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta Raja Grafindo Persada. Djalaluddin, M. Mawardi. 2017. Unsur Kemoderenan Dalam Mazhab Ibnu Hanbal. Jurnal Al-Daulah Vol. 6, No. 1, Juni. Fauzi. 2018. Sejarah Hukum Islam. Jakarta Prenadamedia Group. Izomiddin. 2018. Pemikiran dan Filsafat Hukum Islam. Jakarta Prenadamedia Group. Juliansyahzen, M. Iqbal. 2015. Pemikiran Hukum Islam Abu Hanifah Sebuah Kajian Sosio-Historis Seputar Hukum Keluarga. Jurnal Al-Mazahib Volume 3, Nomor 1, Juni. Karim, Abdul. 2015. Manhaj Imam Ahmad Ibn Hanbal Dalam Kitab Musnadnya. Jurnal Riwayah Vol. 1, No. 2, September. Latupono, Barzah, dkk. 2017. Buku Ajar Hukum Islam. Yogyakarta Deepuhlish. 20 Tamaddun Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, Volume 8, Issue 1, July 2020 Mubarok, Jaih. 2000. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung PT Remaja Rosdakarya. Musa, Muhammad Kamil. 1989. Al-Madkhal Ila Al-Tasyri’ Al-Islami. Beirut Muassasah Al-Risalah. Rohidin. 2016. Buku Ajar Pengantar Hukum Islam. Yogyakarta Lintang Rasi Aksara Books, Rohidin. 2004.Historisitas Pemikiran Hukum Imam Asy-Syafi'i. Jurnal Hukum No. 27 Vol 11 September. Saputra, Askar. 2018.Metode Ijtihad Imam Hanafi Dan Imam Malik. Jurnal Syariah Hukum Islam Vol 1, No 1, 16-37. Setiyanto, Danu Aris. 2016. Pemikiran Hukum Islam Imam Malik Bin Anas Pendekatan Sejarah Sosial. Al-ahkam Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol. 1, Nomor 2, Shomad, Abd. 2017. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia. Jakarta Kencana. Syaltout, Mahmud. 1966. Al-Islam Aqidah Wa Syariah. Kairo Dar Al-Qalam, Yaqin, Ainol. 2016. Evolusi Ijtihad Imam Syafi‟i Dari Qawl Qadim Ke Qawl Jadid. Jurnal Al-Ahkam Volume 26, Nomor 2, Oktober. ... Pada abad pertengahan telah bermunculan para sainstis dan filsuf kaliber dunia di berbagai lapangan keilmuan. Dalam bidang fiqhi terdapat "Imam Malik, Imam Syafi'I, Imam Hambali, Imam Abu Hanifah" Intan, 2018;Fadli, 2020. Dalam bidang Filsafat muncul Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina Wahyuningsih, 2021. ...FatmawatiPendidikan pada mulanya tidak pernah memisahkan antara ilmu umum dengan ilmu agama, akan tetapi, semua ilmu, baik yang erat kaitannya dengan persoalan akhirat, maupun dunia, itu semua dikategorikan sebagai ilmu agama Islam secara tekstual terkesan memberikan justifikasi pemaknaan adanya pemetaan epistemologi ilmu pengetahuan, sebagaimana pemberian term kutub ilmu, yaitu qauliyah dan kauniyah, aqliyah dan naqliyah, ukhrawy dan duniawy, hushuly dan hudhury, dan sebagainya. Namun, Islam tidak memisahkan secara radikal kedua kutub ilmu tersebut justru saling terkait, yang qauliyah mewarnai kauniyah, naqliyah memberi inspirasi akliyah, dan seterusnya. Dikotomi ilmu pengetahuan bermula dari Barat karena faktor modernisasi yang bagian dari refleksi pemikiran yang humanism, pluralism, individualism, pragmatism, dan sekularism. filsafat pendidikan beriontasi pada ilahi, ilmu yang diperoleh manusia baik melalui nalarnya ataupun karena diperoleh dengan pengamatan pada lingkungan dan pengalaman yang dilaluinya harus disadari bahwa semuanya itu bersumber dari Allah SWT.... Muslims who do not know must ask and learn from other Muslims who have reliable knowledge, including following the opinions of mujtahid scholars who have been known in the Islamic world, such as Abu Hanifa, Imam Malik, Imam Shafi'i and Imam Ahmad bin Hanbal. [9]. Those who do not understand Islamic law due to lack of knowledge, in implementing Islamic law, especially in matters of worship, must follow the fatwa of the Ulama. ...RusnitaIslam is not just for a particular group, but for all mankind, regardless of rank or position. However, it is clear that Muslims do not have the same intelligence and ability to comprehend the laws derived from the Quran and the Sunnah, nor do they have different educational backgrounds. Therefore, those who do not have the expertise, requirements and ability to perform ijtihat have no choice but to practice Taqlid or follow mujtahid imam which is believed to be true. A person unfamiliar with the understanding of the Quran and Sunnah cannot be compelled to research the laws and regulations of Islam directly from these two sources. Taqlid is not bad for them and can even save them from mistakes and misunderstandings in the implementation and practice of Islam his Shariah. Mujtahid Imams Taqlid does not mean leaving the Quran and Sunnah. But these are precisely the Taqlid who carry out and follow the Qur'an and Sunnah as closely as possible for those who do not know how to dig up the Dharma from these two sources. Religious education in the field of fik is inseparable from following the madahabs and fatwas of the Mujtahid clerics. Both in worship, muamalah, ahwalus syahsiah, muamalat. Maliyat and Jinayat, judicial and international law fields. In this way, Islamic education in Indonesia is generally dominated by Shafi sect thought.... The conception of ijma in Islamic law has been the subject of discussion in many scientific writings in the form of academic research and journal articles, both generally discussed along with other sources of law mashadir al-ahkam and the ijtihad method or thoughts of ushul fiqh theory of Islamic law or a specific and separate discussion regarding the existence and substance of ijma in Islamic law. For example, studies on the position and concept of ijma in the epistemology of Islamic law by the Imams of the schools of jurisprudence, whether it is a study that summarizes the thoughts of all the four Imams of the schools of fiqh Bedong, 2018;Fadli, 2020 or those who specialized in the thought of ushul fiqh of Imam Abu Hanifa Kasdi, 2016;Saputra, 2018;Ihya', 2020, Imam Malik Yusuf & Hasan, 2020;Hardiansyah Siregar, 2021, Imam Syafi'i Rohidin, 2004;Djafry, 2016;Tunai, 2016;Sanusi, 2018, Imam Ahmad bin Hanbal Marzuki, 2005;Khatimah, 2017;Nadia, 2020, Imam Dawud azh-Zhahiri Sa, 2014 or even Imam Ja'far ash-Shadiq Hamdi & Saputra, 2018. Then there is also the discussion of ijma across different time periods covering both classical and contemporary Islamic jurisprudence scholars such as ash-Syaukani Kurniawan, 2011;Safri & Harahap, 2020, al-Ghazali Bakar, 2019;Wahidah, 2020, Ibnu Rusyd Azarkoni, 2015, Ibnu Hazm Hadi, 2019;Syadzili, 2021, Ibnu Taimiyyah Syaikhon, 2015 Taqiyuddin an-Nabhani Salimadin, 2018, Wahbah az-Zuhaili Ariyadi, 2017; Amiruddin, 2021, Yusuf al-Qaradhawi Kasim, 2013 and Abdullah al-Bassam Simbolon, 2020. ...Nur KhalifahMiftakhul RohmanIjtihād is a thought process to find out the law of a problem based on the most appropriate argument. Correct ijtihad will be able to provide answers to the problems at hand. The basis of true ijtihād is the ability to explore the arguments from the Qur'an and hadith and then process them using qualified tools, supported by correct and consistent methodologies. These three components with the addition of the most important factor, namely the straightness of intentions and an objective view, will undoubtedly be able to produce legal certainty for the problems that are often asked by mankind. Understanding the correct methodology and applying it appropriately will be able to produce the legal provisions sought in the ijtihād process itself. In this article, we will discuss more specifically about one of the great madhhab imams, namely Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i rahimahullahu or Imam Shafi'i. The main issues that will be discussed in this article are about the legal basis used by Imam Syafi'i in determining Islamic law and the development of Islamic law or the Shafi'i school. In addition to also reviewing the methodological framework, to deliver him as an absolute mujtahid, the founder of the basic methodology in Islam. Imam al-Syafi'i's ijtihād methods contained in the book of al-Risālah include Returning all matters to the Qur'ān, hadith, ijmā', the words of friends al-Āṡār and qiyās, issuing laws by looking at the substance of a argument, issuing the law by looking at its 'illat and lowering the argument only on things that are visible, as for the essence, then return to Allah swt. Imam Ash-Shafi'i argues that the main basis in establishing the law is the Qur'an and the Sunnah. If not, then by relying on the Qur'an and Sunnah. If the chain of hadith is continued until the Messenger of Allah and the sanad is authentic, then that is what is desired. Ijma as a proof is stronger than khabar ahad. If a hadith contains more than one meaning, then the meaning that is dzahir is the main one. If the hadiths are of the same level, then the one that is more authentic is more RizalAbdul Halem BahriHuman rights are issues that are always discussed and have not provided a single understanding. This article aimed to analyze human rights from the perspective of the Imam school of thought by using the analysis of the thought of Imam Al-Shafi'i. This research was qualitative using the library research method based on data management obtained from several pieces of literature. Furthermore, this research used a normative approach by adapting several books of Imam Al-Shafi'i. The research found that human obligations and rights in Islamic law, according to Imam Al-Shafi'i, became an inseparable unit. Muslims must be far back to see the birth history and the development of human obligations and rights. As is meant by Imam Al-Shafi'i, human right is a fundamental thing, and it is worth fighting for social beings. His thinkers about human rights can be seen in some of his works, such as Al-Umm and Al-Risālah. These works are very outside for those who want to learn about human rights. The work and application of human rights imposed by Imam Al-Shafi'i are not much different from what is explained by several figures of human rights thinkers who come from the West. It was as the author found a match in his application after seeing the development of human rights thought from several figures. It is expected that contemporary Muslim scholars prioritize the issue of human obligations and rights in providing legal solutions to Muslims. Kirembwe monograph is generally designed to analyze the roles of “Al-munaasabah Application Scales for Soft Skills Enhancement” MASSSE for the second year USIM students during this period of COVID-19 pandemic. The following are the two main objectives of this book 1-To Introduce the Al-munaasabah Application Scales for Soft Skills Enhancement MASSSE for the second year USIM students during this period of COVID-19 pandemic. 2-To analyze the level of Al-munaasabah Application for social-academic values enhancement as the Naqli-Aqli Integration showcase for the second year USIM students during this period of COVID-19 pandemic. Thus, this book addresses the significance of Al-munaasabah in activating a wider use of soft skills even if they apparently look irrelevant from Aqli points of view. The method adapted was the descriptive analytical method, in which Al-munaasabah Application Scales for soft skills enhancement MASSSE was used to collect the data from the selected stratified sample of the second year USIM students sized n=266. This results yielded that Al-munaasabah procedures open up a wider range of Soft Skills variables’ predictions and implantations. It also assert that Al-munaasabah is a supreme controller over all soft skills enhancement space by reducing the gap between Islamic practices and contemporary social skills variable. Thus, Al-munaasabah principles encompass the vast scientific capacities that reproduce a variety of theoretical and practical alternatives that enable researchers to comprehend the relevancy of various Aqli variables for soft skills enhancement . The results further indicate that although some of apparent Aqil literature on the soft skills enhancement might look insignificant from the statistical points of view, they are ultimately viable and meaningful for Naqli Al-munaasabah points of observation. More findings reported in this book will encourage scientific researchers to apply Al-munaasabah principles for both the soft skills developments enhancement and examination process so that Al-munaasabah is applied to understand a large amount of soft skills issue related to the contemporary phenomena. The big picture of the findings reveals that the Naqli-Aqli integration in our day to day life brings about peace of minds and harmony rooted in believing in God and the sense of optimism; Husnu Al-dha’n; It rather sounds like a “Blessing in Disguise” empowered the Al-Qura’n Al-Kareem Surah 2 Al-Baqara - Juz' 2 “…But you may hate a thing although it is good for you, and may love a thing although it is evil for you. Allah knows, and you do not.” Surah 2 Al-Baqara - Juz' 2 216. ﴿…”وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ" ﴾ سورة البقرة الآية Yaqinp>This article describes Imam al-Shāfi'i thought in building istinbath Islamic law method and its decition's which evolved from qawl qadīm to qawl jadīd. He is known as the founder of uṣūl al-fiqh science which is arranged systematically-logically and critically. He tried to combine the two schools of thought, those are Maliki, known as ahl al-ḥadīth that thrives in the Hijaz, and the Hanafi, known as ahl al-ra'y that is entrenched in Iraq. He managed to combine the two schools by taking method good ahl al-ḥadīth and leaving the less ones successfully. Reciprocally, he took the good ahl al-ra’y method and left the poor. It was done for the reason that he had studied with Imam Malik and Muḥammad ibn Ḥasan al-Shaibani, the adherents of the Hanafi schools. The fatwa which he formulated at his living in Iraq is known as qawl qadīm. After he reviewed the fatwa built in Iraq and found the fragility of the arguments as a fundamental, finally, he triggered a new law, namely qawl jadīd which was based on the strong arguments. belajar fiqih syafi i